Suara detak jam berdetak nyaring di telinga, beradu cepat
dengan detakan jatung. Perlahan lahan rasa gelisah muncul dalam benaknya.
Akankah selamanya detakan jam itu yang mengiringi sisa-sisa hidupnya?
Di balik jendela, seorang wanita
renta duduk terpukau menatap senja yang
datang membisu memancarkan sinar penuh harapan. Dialah wanita renta yang selalu
memenuhi memory ingatannya dengan kebahagiaan masa silam. Dialah wanita renta
yang tak pernah lelah menantikan masa lalunya terulang kembali. Dialah sosok
yang tak lagi punya esok.
Hari ini dia berulangtahun ke 65,
namun tak ada rasa letih nampak dalam raut wajahnya. Tak ada peluh dalam
penantiannya. Dia masih seperti dahulu, wanita perkasa yang tak pernah
menampakan rasa lelah.
Diam-diam ia menyimpan sebuah harapan, namun harapannya
selalu membuatnya terlelap dalam rasa menyesal. Menyesal karena mengharapkan
sesuatu yang tak akan pernah terjadi.
“Selamat Ulangtahun ibu.. semoga
panjang umur selalu” suara nyaring
terdengar di ujung telepon. Belum sempat wanita renta itu menjawab telepon dari
anak perempuannya itu, tiba-tiba sang anak menghardiknya dengan mengatakan
bahwa ia sangat sibuk, sejurus kemudian sang anak langsung mematikan sambungan
telponnya.
Baru beberapa detik ia menaruh
telepon dari genggamannya, suara ketukan pintu terdengar sayup ditelinga.
Tergopoh-gopoh ia berlari membukakan pintu, sekali lagi ia berharap sesuatu
yang mustahil terjadi.
Seorang lelaki dengan sebuah
bingkisan bunga menanti dibalik pintu, dengan senyuman ramah ia menyapa wanita
renta itu. Dalam samar kacamatanya, ia melihat sosok sang anak lelaki, namun
hanya tukang pos yang berdiri di hadapannya.
Ia mengambil bingkisan bunga dari
tangan tukang pos dan mencari-cari sebuah memo didalamnya. Setelah
mendapatinya, wanita renta itu membenahi kacamatanya, hatinya berdebar penuh
harap membaca memo itu. Namun sekali lagi, ia hanya mendapatkan rasa kecewa.
Kali ini, sebuah tulisan rapi dengan
pita kecil diatas kertas, tertulis disana “Selamat ulangtahun... maaf tidak
bisa pulang” suatu kalimat yang meyayat hati, suatu kalimat yang sudah empat kali dikirimkan
dengan ejaan yang sama.
Rasa kecewa memenuhi relung hatinya,
itu karena menyatukan dua anak di masa-masa akhir hidupnya saja tak bisa ia
lakukan. Memang seharusnya ia bangga,
bagaimana tidak, anak perempuannya adalah istri dari seorang walikota di kota
seberang, sedangkan anak lelakinya adalah seorang pengusaha mapan yang terus
melebarkan ‘sayapnya’ untuk membuka cabang perusahaanya diberbagai penjuru kota.
Seharusnya wanita renta itu bahagia,
di usianya yang tua ini ia tak perlu membanting tulang untuk mencukupi
kebutuhannya sehari-hari, uang terkucur
deras dari dompet anak-anaknya. Namun,
wanita renta itu selalu saja menelan rasa pahit dan kecewa. Sudah 5 tahun ia
hidup sendiri ketika ditinggal pergi sang suami. Terlebih tak satupun dari sang
anak yang memperhatikan masa tuanya. Hanya ada ‘Meow’ kucing periharaannya yang selalu setia menemani.
Seperti hari-hari biasanya, ia duduk
termenung dengan Meow dipangkuannya. Ia menatap kelam sinar sang senja yang
segera beranjak pergi, suara detakan jam terasa semakin melambat. Seperti biasa
ia mengelus-ngelus kucing kesayangannya itu dan segera tertidur di kursi rotan
yang selalu ia duduki.
Wanita renta itu menghela nafas panjang, keringatnya mulai
membasahi pelipis. Rasa sesak mulai menjalar dan rasa takut mengakar ke relung
hatinya, ia menanti cemas dalam tidurnya..akankah esok ia masih dapat merasakan
hangatnya mentari pagi.